Aksi pembegalan yang telah banyak merenggut korban jiwa inipun akhirnya memantik kemarahan masyarakat. Tentu kita pernah mendengar kabar tentang pelaku pembegalan yang apes alias dipergoki warga kemudian menjadi bulan-bulanan warga. Mereka menjadi pesakitan "pengadilan jalanan", dan mendapat sanksi berupa hukuman fisik dari warga di sekitar tempat kejadian perkara. Aksi main hakim sendiri ini diwujudkan dalam beragam bentuk mulai dari ditelanjangi, bogem mentah, bahkan hingga tindakan yang amat sadis seperti pembakaran hidup-hidup.
Kalau kita pikir lagi, seorang pembegal sejatinya tidak perlu merenggut nyawa korban dalam aksinya. Cukup dengan ancaman senjata tajam atau senjata api, dan kalaupun korban tidak percaya senjata api yang dipegang pelaku adalah asli, pelaku cukup memberi "demonstrasi kecil" untuk menunjukkan keaslian senjata apinya. Dan tentu saja dengan menyembunyikan ciri pelaku seperti menggunakan helm atau balaclava untuk menutup wajah, dan menggunakan kendaraan bermotor tanpa plat nomor.
Tapi kenyataannya tidak. Para pembegal banyak yang beraksi terang-terangan, bahkan melakukan aksinya di siang hari, di pusat keramaian seperti pasar atau jalan protokol. Di balik fenomena begal yang semakin marak dan "berani" ini, tentu ada pertanyaan yang harus segera mendapat jawaban: mengapa aksi begal ini semakin merajalela, dan mengapa pelaku hingga tega merenggut nyawa korbannya hanya demi menguasai harta korban?
Berbagai spekulasi bermunculan di tengah masyarakat menanggapi fenomena begal ini. Mulai dari kebutuhan hidup yang semakin sulit dipenuhi, kepadatan penduduk feat pengangguran, bahkan argumen-argumen out of the box seperti pengalihan isu dan pencitraan institusi kepolisian. Saya sendiri berpendapat bahwa fenomena ini muncul setidaknya akibat dua hal: kebutuhan hidup yang tak terpenuhi, atau (out of the box juga) karena pengaruh narkoba.
Pemikiran ini berangkat dari pengamatan terhadap dua hal. Pertama, pembegalan banyak mengambil lokasi di wilayah perkotaan besar seperti Jabodetabek yang menuntut kebutuhan dan gaya hidup yang lebih tinggi, yang kemudian dapat memaksa seseorang untuk nekad membegal demi keberlangsungan hidupnya.
Kedua, manifestasi pembegalan yang semakin tidak wajar seperti dilakukan di siang hari bahkan di pusat keramaian, dan pelaku tak segan merenggut nyawa korban secara sadis. Ketidakwajaran ini sangat mungkin diakibatkan oleh ketergantungan terhadap narkoba, yang mana tentu kita tahu betul bahwa konsumsi narkoba dapat menimbulkan ketergantungan. Harga narkoba yang relatif mahal dan harus terus menerus dikonsumsi untuk meredam ketergantungan dapat memaksa seseorang melakukan tindak kriminal demi mendapat uang secepatnya untuk membeli narkoba. Inilah yang mungkin membuat pelaku nekad membegal tanpa kalkulasi yang matang meskipun disinyalir rata-rata pelaku tergabung dalam suatu sindikat.
Tentu perlu diteliti secara ilmiah perihal akar permasalahan di balik maraknya pembegalan belakangan ini. Karena pendekatan represif tidak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh jika tidak dibarengi dengan pendekatan preventif melalui penyelesaian akar masalah. Menembak mati para pembegal tak akan menimbulkan efek jera atau ketakutan bagi para calon pelaku ketika dorongan untuk bertindak kriminal lebih kuat daripada ketakutan terhadap sanksi hukum.
Peran serta masyarakat mutlak dibutuhkan untuk mencegah tindak kriminal demi mewujudkan keamanan dan ketertiban lingkungan, namun cukup sebatas melaporkan kepada aparat penegak hukum atau menangkap tersangka pelaku kejahatan. Setelah itu, serahkan kepada pihak yang berwenang agar mekanisme hukum bisa berjalan. Aksi main hakim sendiri sampai kapanpun tidak boleh kita benarkan. Menyiksa para pelaku kejahatan apalagi sampai merenggut nyawa mereka, apapun jenis tindakannya, bukanlah tindakan mulia. We are not savages. Kita adalah masyarakat beradab yang memiliki tatanan hukum dan instrumen penegakan hukum yang jelas.