Ada yang bilang bahwa fenomena dukungan fanatik terhadap Presiden Jokowi ini muncul akibat peran konspirasi global yang mendukung Jokowi di Pemilu 2014 lalu, termasuk di dalamnya peran tim cyber (buzzer) yang membangun opini melalui media sosial. Opini-opini yang dibangun oleh tim cyber ini pada akhirnya turut membidani lahirnya kelompok fanatik Jokowi yang terus eksis hingga sekarang.
Namun terlepas apapun/siapapun yang menciptakan fenomena ini, kita tidak dapat menampik fakta bahwa fenomena ini benar-benar ada di tengah-tengah kita saat ini, dan kita harus menyikapinya. Tulisan ini bertujuan untuk menyikapi hal tersebut seobjektif mungkin.
Di masa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, agaknya kelompok pendukung fanatik beliau membuat seolah-olah wacana/kebijakan apapun yang dikeluarkan pemerintah adalah baik, pro rakyat, dan masyarakat harus menerima. Mereka yang menolak akan dilabeli fanboy Prabowo, orang-orang yang gagal move on, IQ jongkok, dsb.
Celakanya, di sisi lain, ada kelompok yang betindak sebaliknya, mendemonisasi Jokowi. Apapun wacana/kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah tidak pro rakyat, harus ditolak, Mereka yang menolak akan dilabeli fanboy Jokowi, orang-orang yang gagal move on, cebong, dsb.
Memang sudah menjadi fitrah bahwa manusia tidak akan pernah benar-benar netral. Manusia pasti punya kecenderungan untuk pro atau kontra. Pembedanya adalah besar kecenderungan itu, dan cara menyampaikan gagasan. Zaman now ini, ketika kelompok pro dan kontra pemerintah bertemu, yang paling mungkin kita jumpai adalah argumentasi yang meskipun awalnya logis-sistematis, namun buntutnya menjelekkan pihak seberang. Sangat sulit kita jumpai (setidaknya di media sosial) adu gagasan yang bermutu, yang membahas persoalan secara objektif tanpa embel-embel motif dukungan politik.
Segala sesuatu memang bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Misalnya, gencarnya pembangunan infrastruktur di masa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Pembangunan infrastruktur bisa dilihat sebagai sesuatu yang pro rakyat karena akan memperbaiki hubungan antarwilayah dan lebih lanjut meningkatkan ekonomi di masa mendatang. Namun pembangunan infrastruktur itu juga bisa dilihat sebagai sesuatu yang tidak pro rakyat, karena dana yang digunakan berasal dari hutang luar negeri, dan dilakukan pada saat pertumbuhan ekonomi sedang rendah.
Dua cara pandang ini jika didiskusikan secara objektif akan mampu menambah wawasan masyarakat. Tapi jika emosi dan motif politik saja yang dikedepankan, kita hanya akan mendapat konflik antarkelompok yang membuat masing-masing semakin teguh pada pendiriannya bukan karena penilaian objektif, namun justru karena kebencian terhadap kelompok sebelah.
Perbedaan pendapat adalah fitrah manusia yang lumrah, dan merupakan ciri utama negara demokrasi. Mari berhenti menabikan dan mendemonisasi, demi terwujudnya masyarakat demokrasi yang dewasa. Saatnya kita bersatu dalam perbedaan, santun dalam mengemukakan pendapat. Jangan kita lupa bahwa keutuhan sebuah bangsa ada di tangan rakyatnya, bukan pemerintahnya.
Terakhir, untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan tokoh yang sangat terkenal di kancah global. Beliau pernah membuat sebuah pernyataan yang relevan dengan topik pembahasan di tulisan ini:
"Pemujaan yang berlebihan, tidak sehat."
(Patrick Star)