Saya tergelitik untuk menulis post kali ini setelah membaca tulisan Listiyono Santoso (dosen ilmu etika dan filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga) yang bertajuk "Darurat Bahaya Dunia Anak" di kolom Opini Jawa Pos, Senin 29 Februari 2016. Berikut ini kutipan dari tulisan beliau yang menurut saya paling penting: |
"Anak-anak kita dididik, dibentuk, dan diciptakan dengan logika orang dewasa. Setiap hal yang menyangkut kepentingan anak-anak, orang dewasa begitu mendominasinya. Mulai selera makanan, pakaian, hingga permainan dibentuk dengan langgam orang dewasa.
...(permainan anak-anak) dikompetisikan dan dipertandingkan. Permainan anak tak lagi berorientasi pada kegembiraan anak semata, tetapi karena kesenangan orang dewasa (orang tua) yang mendapatkan keuntungan berupa reputasi, citra diri, dan lainnya.
... tragisnya, dunia pendidikan kita, yang seharusnya menjadi ruang belajar anak terhadap dunia kehidupannya, justru menjadi tempat mengasingkannya dari alam lingkungan anak-anak. Pendidikan dasar yang seharusnya merupakan pendidikan moral kepribadian saat ini justru berkembang menjadi tak lebih dari persekolahan yang sekadar mengejar kemampuan akademik.
Sekolah (saat ini) tidak ubahnya "tempat" mencerabut anak dari dunianya. Karena tuntutan orang dewasa, anak-anak kita setiap hari diberi beban pekerjaan sekolah. Sudah lelah bersekolah, diberi pekerjaan rumah, masih ikut les privat. Praktis, anak-anak kehilangan dunianya karena kepentingan orang dewasa."
Kita hidup di era gadget, era informasi dan globalisasi, di mana dunia semakin menyatu. Termasuk dunia anak dan dunia orang dewasa, yang juga semakin menyatu. Anak-anak harus mengikuti standar orang dewasa. Bukan rahasia lagi kalau anak-anak masa kini tercetak untuk menjadi orang dewasa versi mini. Padahal that's not what they are meant to be.
Saya jadi teringat kredo kedokteran mengenai pengobatan untuk anak, yang nampaknya juga cocok untuk para orang dewasa saat ini: "Anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil"
But well, this is the kind of world we are living in. This is the country we are living in. Di mana taman kanak-kanaknya banyak yang lebih mirip tempat les calistung alih-alih taman bermain karena tuntutan zaman: zaman di mana untuk masuk SD pun harus lewat seleksi. Kita hidup di masyarakat yang semakin banyak orang tua berlomba-lomba untuk melatih anak mereka berbagai hal, mengikutkan anak-anak mereka bermacam-macam les which are unconsciously untuk reputasi dan kebanggan diri mereka. Dunia di mana para orang tua menjadikan prestasi sebagai tolak ukur kualitas anak-anak mereka.
Di sinilah peran dari orang tua menjadi mutlak dibutuhkan. Ketika sekolah tak lagi mampu memberikan anak-anak kesempatan untuk meraih masa kecil mereka, maka orang tua lah yang harus memberikannya. Orang tua harus memastikan bahwa anak-anak mereka mendapatkan masa kecil yang menyenangkan dan bernilai, sebagai fondasi bagi mereka untuk menapaki fase-fase kehidupan mereka berikutnya.
Anak-anak dilahirkan dengan potensi yang tak terkira. Itulah tugas orang tua, membantu anak-anak mereka untuk berkembang. Tentu setiap orang tua punya gambaran ideal perihal apa yang terbaik bagi anak-anak mereka. Namun ada baiknya orang tua tidak memaksakan anak-anak mereka hingga melampaui tugas perkembangan mereka. Arahkan mereka, tapi jangan tekan mereka sesuka hati.
Biarkanlah mereka bermain, berfantasi, meramu nilai-nilai dan kearifan dengan cara mereka sendiri. Let them play, sing, play music, play sports, read books, tell stories, do math, write/draw something, or anything they feel like to; everything they are willing and happy to do.
Let them be children. And let them actually have their childhood.