Sepanjang pengamatan saya selama era pemilu langsung ini, saya mendengar cukup banyak nama personil TNI yang masuk bursa kandidat pemimpin di tingkat nasional. Pak SBY, Pak Prabowo, Pak Pramono Edhie, Pak Muldoko, dan tentu tidak lupa sosok yang sedang naik daun belakangan ini, Pak Gatot Nurmantyo.
Tapi sebaliknya, saya belum pernah mendengar nama jenderal polisi yang masuk (dan dianggap laku) di kancah politik nasional, dalam hal ini sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Kalaupun saya boleh berpendapat, Pak Sutanto dan Pak Sutarman adalah dua sosok polisi yang pantas bagi saya untuk memimpin, karena pembawaan beliau yang karismatik, tegas, dan bersahabat.
Mengapa Tentara Lebih "Seksi" dari Polisi?
Jika membahas tentang sosok tentara sebagai calon pemimpin, yang terbesit di benak saya adalah tegas, tangguh, bersih, dan karismatik. Tegas dan tangguh sebagai produk dari pendidikan militeristik, bersih karena tidak cawe-cawe penegakan hukum dan uang rakyat (jarang kena kasus korupsi), serta karismatik karena.. Mereka tentara, dan tentara itu keren. Hey, they got tanks, rockets, big guns, and stuff. And cool beret. Mungkin cukup itu saja penjelasannya, hahaha.
Sementara itu, persepsi saya tentang polisi adalah korup dan bisa "dibeli" untuk dijadikan alat kekuasaan. Dan persepsi saya tentang polisi ini, bukan tanpa alasan. Pertama, tentang persepsi saya mengenai institusi polisi yang korup. Bukan rahasia lagi bahwa seringkali berurusan dengan polisi artinya mengeluarkan uang yang tak semestinya. Sebut saja "uang damai" untuk tilang di jalan raya, "uang permen" untuk mengurus surat-surat, dan uang-uang yang lain. Sampai muncul ungkapan di masyarakat, berurusan dengan polisi bagaikan "Ngurus wedhus ilang siji, entek sapi siji (mengurus seekor kambing yang hilang, habis sapi seekor)". Selain itu, secara makro berbagai survey mengenai lembaga terkorup di republik ini menempatkan Polri di urutan dua teratas, unda-undi dengan DPR/DPRD.
Kedua, tentang polisi yang bisa "dibeli" untuk dijadikan alat kekuasaan. Penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, dan kepolisian sebagai institusi penegak hukum terlibat di dalamnya. Pengusutan kasus korupsi (terutama yang melibatkan pejabat kepolisian) dan pelanggaran HAM terhadap mereka yang kontrapemerintah seringkali lamban, berbelit-belit, bahkan tanpa hasil.
Penegakan hukum saat ini masih tajam ke bawah tumpul ke atas: keras dan tegas terhadap wong cilik, lembek dan lemah terhadap penggede. Ditambah lagi dengan penegakan hukum yang pilih tebang: agresif terhadap musuh penguasa, tapi letoy terhadap pendukung penguasa. Selama penegakan hukum di Indonesia masih carut marut seperti ini sehingga terus mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat, maka selama itu pulalah nama jenderal polisi akan sulit bersaing di kontestasi politik nasional.
But, hey, it's all just me. Maybe I'm wrong, or maybe I'm right. You decide.
Mungkinkah Polisi Masuk Bursa Kandidat di Tingkat Nasional?
Secara ideal, sosok dari kalangan polisi punya modal yang sangat baik untuk menarik hati masyarakat. Polisi adalah penegak hukum, pengayom masyarakat, penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), dan lebih dekat dengan masyarakat sebagai mitra dalam berbagai kesempatan.
Selain itu, berbeda dengan tentara yang tercatat dalam sejarah bangsa kita pernah terlibat dalam struggle of power, polisi memiliki catatan sejarah yang relatif bersih. Polisi juga lebih "sipil" dibanding tentara karena lebih dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun demikian, selama Polri tidak mengambil langkah fundamental untuk memperbaiki reputasi institusi kepolisian di mata masyarakat, maka selama itu pulalah polisi akan sangat sulit (kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin) untuk menjadi kandidat yang "laku" bagi pemilih.
Kehadiran sosok polisi dalam dunia politik Indonesia akan menjadi sesuatu yang sangat menarik. Saya akan menunggu bergabungnya sosok polisi di kontes politik Indonesia.
Dan saya juga akan menunggu saat di mana sosok pria berjas putih kembali "seksi" di mata calon mertua, hahaha..