"Humankind cannot gain anything without first giving something in return. Di dalam hidup ini, kita pasti selalu mengharapkan hasil yang besar, hasil yang paling maksimal. Tapi di saat yang sama seringkali kita malah, by default, menghindari pengorbanan. Agaknya watak manusia memang "tercetak" sesuai prinsip ekonomi: "Dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapat keuntungan tertentu", di mana "tertentu" hampir selalu berarti "terbesar". Begitu banyak di antara kita, yang menginginkan hasil besar, tapi enggan berkorban; yang ingin pintar, tapi enggan belajar; yang ingin kaya, tapi enggan bekerja keras; yang ingin masuk surga, tapi enggan beribadah. Kita seringkali terlupa akan satu prinsip kehidupan yang paling mendasar: bahwa segala sesuatu ada harganya. Jika kita punya impian yang besar, maka kita harus siap untuk berkorban besar, kita harus mau berkorban besar, dan akhirnya kita harus berkorban besar. segenap sumber daya yang kita miliki: waktu, tenaga, harta, bahkan perasaan, harus siap kita korbankan. Dan kita harus meyakini, bahwa pada akhirnya, hasil tidak akan mengkhianati usaha. "Tak ada kemapanan, tak ada pencapaian, tanpa pengorbanan. So, how big is your dream? How badly do you want to make it real? Do you have the will to make the equivalent sacrifice for your dream? Beberapa waktu ke belakang, timeline facebook saya dipenuhi feed tentang isu pendidikan kedokteran yang menjadi headline pemberitaan salah satu harian cetak nasional. Isu yang dibahas, seperti biasa, tidak jauh dari seputar komersialisasi dan kualitas lulusan, terutama mengenai fakultas-fakultas kedokteran (FK) yang baru dibuka dan beberapa FK terakreditasi C yang sebagian lulusannya menghadapi kesulitan menghadapi ujian, dan dipertanyakan kualitasnya. Saya tidak akan menganalisis terlalu jauh, tidak pula akan merangkai kata untuk menunjuk siapa yang paling patut disalahkan dalam semua carut-marut ini. Saya akan berbagi pemikiran saya, yang mengatakan bahwa semua masalah ini adalah panggilan bagi kita semua, para peserta pendidikan kedokteran di Indonesia. Terlepas apakah kita adalah mahasiswa kedokteran di perguruan tinggi negeri maupun swasta, kita mengemban tugas yang sama: belajar, demi mewujudkan masyarakat yang sehat. Dan tugas ini tidak pernah berubah sejak dahulu kala. Hanya saja, caranya yang berbeda mengikuti perkembangan zaman. Dengan sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan di Indonesia saat ini, tentu kita paham bahwa kita dituntut untuk belajar secara aktif alih-alih menunggu guru-guru kita "menyuapi" kita dengan ilmu. Thus, we (actually) have to go extra miles, to be a competent doctors. Masalahnya, dalam melihat permasalahan pendidikan kedokteran ini, kita seringkali digiring untuk memandang bahwa elemen yang paling penting dalam mewujudkan pendidikan kedokteran yang berkualitas hanyalah dua hal: dosen dan sarana-prasarana. Kita mungkin lupa bahwa elemen yang terpenting adalah mahasiswa itu sendiri. Sebanyak apapun jumlah dosennya, kalau mahasiswanya enggan untuk belajar, hasilnya tidak akan maksimal. Selengkap apapun fasilitas pendidikannya, kalau mahasiswanya enggan untuk belajar, hasilnya juga tidak akan maksimal. Menunggu pihak lain untuk memperbaiki segalanya adalah penantian yang tidak pasti. Kita harus mengubah apa yang paling bisa kita ubah: diri kita sendiri. Dan kita harus hidup di masa kini, mengubah apa yang bisa kita ubah hari ini, untuk memperbaiki hari esok. Maka dari itu, langkah pertama dan utama yang bisa kita ambil di saat ini adalah belajar dengan sungguh-sungguh. Maksudnya, benar-benar belajar, to actually study. Belajar yang bukan untuk persiapan ujian semata, belajar yang bukan karena diminta oleh guru kita. Tapi belajar untuk mempersiapkan diri kita menjadi seorang dokter sungguhan, yang siap membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan di bidang kesehatan. Saya mengatakan semua ini, bukan berarti saya sudah sempurna atau merasa sempurna. Sama sekali bukan. Saya hanya ingin mengingatkan satu sama lain, sebagai rekan sejawat. Mengingatkan, mengintrospeksi, bahwa di balik semua masalah ini, barangkali justru kitalah yang paling perlu untuk berubah. Mari kita belajar dengan lebih sungguh-sungguh, demi masyarakat yang sehat dan demi kehormatan profesi luhur dokter. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan menuliskan sebuah kutipan yang agaknya cukup mampu membuat saya lebih ingat untuk belajar: In video games, if there is no enemy on your way, then it must be the wrong way. Entah mengapa segalanya terasa begitu melelahkan. Menjemukan. Menguras habis energi kehidupan. Seolah kebahagiaan perlahan melangkah jauh, dan gairah menjalani kehidupan dengan maksimal kian sirna.
Lalu aku mencoba untuk menggali apa-apa saja yang diberikan Tuhan kepadaku, dan aku akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya aku memiliki segalanya: iman, Islam, kesehatan, energi, cinta, keluarga, uang, sahabat, bahkan kekasih. I have no legitimate reason to feel miserable, to live my life like an airhead. But one thing is gradually missing, indeed. And that, is my dream. Yeah I have dreams, I have like hundreds of them. But currently none of them is actually giving me that driving force to bust through every obstacle ahead. I give in to everything, and I go with the flow. O God, I beg Thou to guide me living my life to the fullest, and allow me to bring happiness to everyone who cares about me and still believes in me. |
Tentang Penulisdr. Mada Maulana Arsip!
October 2017
Kategori!
All
|