Pihak institusi mempermasalahkan apa yang kami tulis. Untuk pertama kalinya sepanjang hidup saya, pemberi angket membahas angket bersama dengan para penulis angket. Dan tidak cukup sampai di situ saja. Di dalam forum itu mereka bersikap defensif, terus mengklarifikasi, bahkan mencari satu persatu orang yang menuliskan respon yang mereka anggap "bermasalah" dan tidak relevan. Satu persatu respon kami ditanggapi dengan beragam pesan yang intinya "kesalahan ada pada pihak anda". Kami bahkan dicap kekanak-kanakan dan pemberontak. Niat baik kami untuk menyampaikan kritik dengan jujur, berakhir dengan penyesalan.
"Kalau tahu akhirnya seperti ini, tidak seharusnya kita menulis dengan jujur. Seharusnya kita menulis normatif saja, asal-asalan saja, yang baik-baik saja, toh yang penting menulis". Kurang lebih seperti itulah respon kami terhadap forum yang saat itu kami ikuti.
Dari kejadian ini, ada satu pesan penting yang mengemuka: tidak semua orang mampu menerima kritik.
Penulis kenamaan Dale Carnegie dalam bukunya "How to Make Friends and Influence People" menyampaikan dengan sangat gamblang bahwa fitrah manusia adalah tidak suka dikritik. Itulah mengapa ia menjelaskan bahwa jika kita ingin menjalin hubungan yang baik dengan seseorang, sebisa mungkin kita harus menghindarkan diri kita dari mengkritik orang tersebut.
Meskipun di era keterbukaan seperti sekarang kiat dari Dale Carnegie itu masih cukup efektif, namun dalam beberapa kesempatan pasti ada pihak lain yang secara sadar dan sukarela meminta kritik dan/atau saran dari kita. Tujuannya, untuk memperbaiki dirinya. Untuk menambal celah-celah ketidaksempurnaan pada diri mereka, demi menjadi diri/organisasi/lembaga yang lebih baik.
Era keterbukaan dan persaingan bebas mengubah pola pikir masyarakat kita yang dulu tertutup untuk perubahan, menjadi lebih terbuka. Era ini menuntut terwujudnya hubungan antara provider dengan consumer yang semakin cair, setara dan dua arah. Upaya untuk menciptakan hubungan yang demikian umumnya bisa kita temukan di berbagai organisasi.
Sayangnya, masih banyak di antara mereka yang meminta kritik ini, tidak memiliki kemampuan untuk menerima kritik. Kritik yang kita sampaikan, ditanggapi dengan respon yang membuat kita merasa menyesal telah memberikan kritik. Ketidakmampuan menerima kritik inilah yang sering membuat kita yang telah memberikan kritik dengan jujur, bahkan mungkin (di dalam hati) geleng-geleng kepala sambil bergumam "What the . . ."
Misalnya seperti ini. Setelah melalui proses berpikir yang panjang dan dengan segala kehati-hatian untuk menjaga perasaan pihak yang dikritik, akhirnya tersampaikanlah kritik jujur dan tulus dari kita. Namun apa yang terjadi setelahnya? Pihak yang meminta kritik ini justru bersikap defensif dengan segala pembenaran darinya. Mereka buru-buru mengklarifikasi, menolak tanggapan kita, bahkan tidak jarang justru balik mengkritik kita yang mengkritik mereka. Padahal, mereka secara sukarela meminta kritik dari kita. Nah, bagaimana seharusnya kita menanggapi kritik?
Dalam pandangan saya, setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan, dalam menanggapi kritik orang lain baik yang kita minta maupun yang tidak kita minta.
1. Menjadi pendengar yang baik
Stephen R. Covey dalam bukunya "7 Habits of Highly Effective People" menjelaskan betapa pentingnya seseorang memiliki kemampuan untuk mendengarkan, dan menuliskan pandangannya mengenai manusia dan mendengarkan. Ia menuliskan “Most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply". Kebanyakan orang tidak mendengarkan untuk memahami; mereka mendengarkan dengan tujuan untuk membalas/menanggapi.
Untuk menjadi penerima kritik yang baik, kemampuan pertama yang harus kita miliki adalah kemampuan untuk mendengarkan. Kemampuan ini mutlak diperlukan untuk menerima kritik, yang barangkali sangat penting untuk kita ketahui, dengan lengkap. Mendengarkan dengan baik memungkinkan kita untuk menerima the whole message dari sebuah kritik.
Sayangnya, kemampuan ini lebih sulit untuk dikuasai ketimbang kemampuan untuk memberikan respon. Mendengarkan dengan baik membutuhkan kesabaran ekstra, dan tidak semua orang bisa bersabar. Seringkali kita hanya mendengarkan apa yang ingin kita dengar, dan hanya sekedar mendengar apa yang tidak ingin kita dengarkan. Kritik membuat kita merasa diserang, sehingga membuat kita merasa perlu mempertahankan diri.
Jika kita sedang meminta kritik atau sedang dikritik, cobalah untuk mendengarkan dengan seksama agar kita mampu menangkap pesan yang disampaikan kepada diri kita dengan baik. Bukan tidak mungkin, kritik yang disampaikan orang lain kepada kita akan mengubah hidup kita.
2. Mengapresiasi respon dan kejujuran orang yang mengkritik/dimintai kritik
Orang yang tidak peduli dengan apa yang kita lakukan, tidak akan mampu memberi kita kritik. Bukan karena kita tidak memiliki celah, namun karena mereka tidak tahu apa yang perlu dikatakan. Simply saying, they just do not care.
Kritik adalah buah dari proses berpikir kritis dan reflektif, sehingga selayaknya kritik mendapat apresiasi. Lalu jika memang mereka menyampaikan sebuah kritik yang jujur, artinya mereka benar-benar mengharapkan sebuah perbaikan. Di dalam kritik jujur itu ada ketulusan, dan ketulusan itu juga patut diapresiasi.
Menyampaikan kritik juga tidak selalu terasa mudah untuk dilakukan. Barangkali kita pernah mengalami adegan seperti ini:
"Eh, kritik gue dong!"
"Hmm.. Apa ya.."
"Udah gapapa, ngomong aja."
"Menurut gue sih, tapi lo jangan marah ya, lo itu... (kritik)"
(respon selanjutnya tergantung penerima kritik)
Percayalah, pemberi kritik sangat memahami bahwa apa yang akan mereka sampaikan bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima. Dalam menyampaikan kritik, mereka pasti sudah menyusun kata-kata sedemikian rupa sehingga diharapkan tidak sampai melukai hati orang yang dikritik. Senasi menyampaikan kritik mirip dengan menjinakkan bom di film. Harus ekstra hati-hati memilih "kabel" yang mana yang harus dipotong agar "bom" tidak sampai "meledak". Setidaknya itulah yang terjadi di Indonesia yang masih sangat menjunjung tinggi "adat ketimuran" ini.
Maka dari itu, kita harus menerima kritik yang sudah diramu sedemikan rupa dengan tangan terbuka, dan mengapresiasi kritik yang orang lain sampaikan, no matter how harsh or irritating they may sound. Menunjukkan apresiasi terhadap kritik yang disampaikan akan menciptakan suasana yang bersahabat, dan me
3. Merefleksikan kritik dengan bijak
Meskipun kita sudah mendengarkan dengan baik dan menunjukkan apresiasi terhadap kritik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua kritik relevan untuk kita terima. Ada kalanya kritik-kritik ini memang benar-benar tidak nyambung dengan apa yang ada, meskipun kita sudah tak lagi bersikap defensif. Terhadap kritik-kritik yang demikian, ucapkanlah terima kasih, dan lepaskan saja.
Kemudian, untuk kritik-kritik yang baik namun terasa begitu menyakitkan bagi kita, kita refleksikan ke dalam diri kita. Jika memang kita merasa perlu untuk bertindak sesuai kritik menyakitkan itu, maka terimalah dengan hati besar. Karena kita memang masih jauh dari kesempurnaan.
Penutup
Terimalah kritik dengan hati besar dan tangan terbuka, karena kritik adalah manifestasi dari proses berpikir dan di dalamnya sangat mungkin juga mengandung perasaan dan ketulusan. Menanggapi kritik dengan baik dan bijak adalah salah satu langkah yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.