Kali ini gue bakal ngebahas kajiannya ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang judulnya "Program Pendidikan Layanan Primer dan Implikasinya pada Dinamika Pendidikan Kedokteran di Indonesia" oleh kolega Vicha Annisa, dkk. dari Manado. Dengan pandangan gue sebagai Ordinary Medical Student pastinya, semoga lo nggak berharap lebih. Sumpah, gue bukan pengurus Kastrat ISMKI, apalagi caleg Komisi IX DPR-RI. Gue cuman anak FK biasa.
Kalo lo pengen cari pembahasan yang bahasanya tinggi nan serius dan gak suka yang sambil bercanda, feel free buat cari blog lain, ato tulis sendiri aja opini lo. Gue pengen bikin tulisan opini dengan bahasa yang se-merakyat-mungkin dengan anak-anak FK yang masih banyak digalauin sama ujian, skripsi, dan status coma jomblonicus. Dan skripsi. Pertama nan paling utama, baca dulu kajiannya di bawah ini (kalo kekecilan bisa di-full-screen, tombolnya ada di pojok kanan bawah). Enjoy! C:)>
- Tahun 2014 mendatang, Indonesia bakal masuk era SJSN, dimana diestimasikan 121,6 juta jiwa masyarakat Indonesia akan ter-cover Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
- Di SJSN, sistem kesehatannya berjenjang:
Dokter layanan primer -> Dokter spesialis -> Dokter subspesialis. Jadi, kalo lo memanfaatkan SJSN, Jangan harap panu lo bisa langsung ditanganin dokter spesialis. Lo harus ke dokter layanan primer dulu. - Dokter layanan primer (DLP) diharapkan menyelesaikan 80% permasalahan kesehatan rakyat Indonesia.
- DLP BEDA SAMA DOKTER UMUM. Dokter layanan primer itu dokter umum yang belajar lagi buat jadi dokter layanan primer, yg statusnya dokter-generalis-setara-spesialis-tapi-bukan-spesialis-tapi-rencananya-dapet-gelar-spesialis-family-medicine. Pusing? Gue juga hahaha
- Kalo lo nggak mau jadi dokter layanan primer, monggo. Tapi lo harus bisa bertahan di tengah gempuran pengobatan "gratis"-nya SJSN. Kalo emang lo beneran mau ambil resiko itu, mending lo ke Korea, operasi plastik, terus ikut casting gantiin dr. Ryan Thamrin.
- Area kompetensi dokter layanan primer jauh lebih banyak dibanding dokter praktek umum (DPU). Pokoknya (digambarinnya) komplit deh, telornya empat pake acar 2 bungkus.
- Biaya pendidikan dokter umum yang pengen jadi DLP itu ditanggung negara alias GRATIS dan DAPET INSENTIF. Insentifnya berapa? Bentar, gue tanya Eyang Kubur dulu.
- Pendidikan DLP HANYA BISA diselenggarakan di FK yang akreditasinya A (FK-A), yang jumlahnya di Indonesia cuman 16 dari 73 FK, dan dari 16 itu, 11 di pulau Jawa. Alhamdulillah, FKUB termasuk. Yay!
Tapi FK-A bisa kerjasama dengan FK-B. Kerjasamanya gimana? Belom diatur. Sabarrr.... - Pembayaran DLP pake sistem kapitasi. Lo meng-cover kesehatan sekian ribu masyarakat peserta SJSN di suatu lokasi, dan uang yang masuk ke kantong lo adalah uang mereka yang nggak sakit. Artinya makin banyak pasien lo, makin dikit bayaran lo. Tutup klinik aje biar cepet kaya, ato rujuk rujuk rujuk teruuus hhaha (Don't try this at SJSN).
- Kalo pasien lo belom sembuh di tangan lo, lo harus nombokin biaya pengobatan pasien itu. Cadas kan? Makanya, harus ngedepanin pendekatan pencegahan. Dan belajar yang pinter.
- Dokter umum yang udah lulus duluan dan mau jadi DLP, harus ikut pelatihan dulu buat gabung SJSN. Yang jelas bukan Mario Teguh Golden Ways.