So, 203 orang kawan-kawan gue mahasiswa Pendidikan Dokter FKUB (sekitar 2/3 total mahasiswa seangkatan) udah bergelar "SKed" bulan lalu.
Gue? Mencari arti kehidupan, menghibur diri dari semua ini dan ngebut skripsi (jelas).
Ya, nature manusia emang selalu mengupayakan mencari pembenaran dalam setiap keputusan yang dia buat. Dan ketika gagal, manusia punya kemampuan buat menghadapi tekanan batin yang dialaminya (stress coping), dan nulis adalah salah satu metode gue. Lagian toh ini blog pribadi gue, jadi sah-sah aja kan? Aku rapopo (rapuh porak poranda) hahaha..
Kenapa gue anggep gagal ikut yudisium gelombang 1 sebagai blessing in disguise (berkah tersembunyi)? Ada 2 versi jawaban:
Pertama. Tahun ini tahun 2014, identik sama apa? Bener banget. Piala Dunia! Dengan gak ikut yudisium gelombang 1, gue bisa lebih leluasa nonton Piala Dunia tanpa harus galau koas gelombang 1 yang mulainya bulan Juni bareng Piala Dunia. Kawan-kawan gue yang senasib bahkan punya rencana nonton bareng (mungkin dalam rangka menghibur diri juga, hahaha). Oke, gue emang bukan seorang penggila bola, tapi kalo udah kena yang namanya Piala Dunia, beda lagi urusannya. Kenapa? Ada JERMAN! Gue setia dukung Jerman dari tahun 2002, dan gak pernah ngelewatin satu pun pertandingannya di Piala Dunia. Man, I love Der Panzer! Oke, gue makin out of topic.
Yang kedua, gue masih bisa lebih leluasa ber-Ramadhan dan lebaran di Jombang bareng keluarga. Ini nih yang paling penting, yang mungkin gak bisa gue dapetin kalo gue ikut koas gelombang 1 yang timeline-nya juga pas banget bareng dua momen indah itu. Menikmati family time sama keluarga itu super mahapenting banget buat gue, terutama tahun ini. Kenapa? Karena tahun depan gue belom tentu bisa dapet. Ya, it's just a matter of time. My time will come for sure, tapi jelas kesempatan tahun ini gak boleh gue lewatin gitu aja. Oke, lanjut ke versi serius.
2. Versi serius
Buat gue, yang namanya skripsi itu bener-bener a pain in the ass, alias sangat menguras tenaga dan air mata. Singkat cerita, gue sempet menghadapi stress yang teramat sangat menghenyak lantaran gue ngga berbakat sama hal-hal menulis ilmiah termasuk skripsi. Belom lagi gue udah gagal ikut gelombang 1, yang meskipun gak signifikan melukai hati gue, tapi (ternyata) tetep bikin gue sedikit tertekan. Ini bikin gue mencari cara buat berdamai dengan diri gue sendiri, atas ketidakmampuan gue selama ini. Ini mengantarkan gue ke kegiatan membaca. Membaca apa? Buku-buku tentang self control dan meraih kebahagiaan sejati. Freaky, huh?
Gue tahu banyak orang di luar sana yang lebih memilih buat kerja, kerja, kerja dan kerja buat mengatasi tekanan mereka. Tapi ini cara yang gue pilih: menimba ilmu tentang kehidupan lewat tulisan, dan terus mengupayakan yang terbaik yang gue bisa. Meskipun "yang terbaik" gue itu mungkin nggak sebaik orang-orang pada umumnya. Tapi satu hal yang gue akhirnya pahami dari semua usaha gue ini, bahwa sumber kebahagiaan sejati ada di dalam diri kita.
So, by the way, sampe sekarang udah 5 buku yang gue baca tentang topik ini, and it's still going on. Efek sampingnya lumayan banget lho. Selain gue bisa berdamai sama diri gue sendiri, gue juga dapet banyak banget ilmu yang berguna tentang kehidupan manusia. Alhamdulillah, sekarang gue lebih tenang dalam berpikir, lebih bersyukur, dan bisa menjalani kehidupan gue dengan lebih banyak senyuman dan keceriaan.
Next! Beberapa waktu ke belakang ini gue punya pikiran (yang mungkin) agak aneh dibandingin temen-temen gue. Gue ngerasa belom siap jadi koas. Yes, gue tau sebagian besar temen-temen gue pun pasti ngerasain hal yang kurang lebih sama. Tapi banyak dari mereka yang have faith bahwa "semua akan indah pada waktunya", alias dengan mengikuti segala rangkaian yang disiapkan fakultas dan sambil "jalan" di RS nanti, kesiapan dan kemampuan akan mengikuti. Persis kayak teori-nya om Mario Teguh.
But unfortunately, pikiran gue mengatakan kalau gue masih sangat jauh dari kata ideal buat megang pasien, seenggaknya dalam waktu yang teramat dekat ini, baik secara keilmuan maupun keterampilan. Dan gue gak percaya sama teori nya om Mario. It just doesn't fit me. Sekedar kepaniteraan umum (sejenis pembekalan pelatihan keterampilan klinik buat calon koas yang bakal dinas di RS) dan meyakini frasa "semua akan indah pada waktunya" gak akan bisa bikin gue melenyapkan semua pikiran aneh gue itu.
And I'm trying to cope that stress. Gimana caranya? Gue belajar lagi, dari awal. All over again. Anatomi dan fisiologi. Supaya gue ngerti betul gimana tubuh manusia bekerja, supaya gue bisa nangkep segala ilmu di RS nanti, baik dari dosen maupun pasien, dengan lebih mudah tanpa perlu ngulang berjuta kali (dan lebih stress lagi karena gue udah harus megang pasien). Setelah itu selesai, gue bakal belajar ilmu pemeriksaan fisik yang paling basic. Biar gue bener-bener bisa berguna di rimba RS sana. Biar self esteem gue lebih tinggi dan gue lebih percaya diri dalam bertindak. Dan Alhamdulillah, akhirnya gue menemukan semangat belajar bukan cuma dalam rangka penanggulangan stress dan menghindari hambatan di masa depan, tapi juga lebih dari itu: gue mulai bisa belajar karena didasari keingintahuan yang lebih besar tentang bidang kedokteran. I'm gaining my medical spirit.
Waktu yang masih ada beberapa saat ke depan ini bakal gue manfaatin buat belajar lagi. Tentang manusia, tentang kedokteran, tentang kehidupan.
Yes. Gue gagal ikut yudisium gelombang 1, tapi itu adalah blessing in disguise yang luar biasa bernilai buat gue.