Tepat satu tahun yang lalu, gue buru-buru berangkat ke kampus. Dari rumah gue udah ganteng, make jaket BEM, nenteng megaphone pinjeman dari Lakesma (Lembaga Kesehatan Mahasiswa) FKUB, dan gue telat. Sesampainya di kampus, dari 2000-3000an mahasiswa FKUB yang dijarkom, ternyata cuman 5 orang yang dateng: gue, Mas Dana (PresBEM FKUB 2012), dan beberapa orang pengurus BEM SEMESTA FKUB 2012. Kita tunggu beberapa menit, jaga-jaga kalo ternyata ada yang mau dateng. Ternyata kita salah, dan kita berangkat jalan kaki. Ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kota Malang.
TMP Kota Malang jaraknya nggak jauh, cuman 200-an meter dari kampus dan 50 meter dari Malang Town Square (Matos). Sepanjang perjalanan gue dan rombongan nyanyi lagu-lagu nasional. Malahan, kita sempet didatengin polisi karena jalan rame-rame bawa megaphone dan bendera merah putih. Kita dikira mau gelar aksi ato demo. Setelah kita jelasin kalo kita cuman mau sowan ke TMP, polisi itu malah ketawa. Dia jarang ngeliat mahasiswa mampir ke TMP. Apalagi mahasiswa yang aksi cuman bawa massa 5 ekor hahaha.
Kita pilih spot di depan tiang bendera TMP, dan kita mulai gelar upacara bendera kecil-kecilan. Gue kebawa nostalgia jaman SMA. Gak kerasa udah 3 tahun gue nggak ngerasain lagi yang namanya upacara bendera. Sesuatu yang dulu buat gue paling nggak penting, dan sekarang gue rindukan. Sesuatu yang buat gue sekarang berarti banget. Abis upacara bendera, kita jalan-jalan keliling TMP, buat mendalami rasa syukur sebagai seorang Indonesia yang merdeka.
Ada satu pengalaman menarik yang nggak bisa gue lupain, bahkan sampe sekarang. Gue inget banget ada anak kecil yang tanya sama TNI yang nemenin rombongan dia. Di depan salah satu makam tanpa nama, anak kecil itu nanya begini "Pak, orang yang meninggal ini dulu matinya ditembak ya pak?". Tentara itu senyum dan ngejawab "Oh, kalau itu bapak kurang tahu juga dek, yang jelas bapak ini (yang dimakamkan) gugur membela kemerdekaan Indonesia". Gue ketawa, tapi pikiran gue ngebayangin sesuatu.
Gue ngebayangin sesosok laki-laki, umurnya antara 17-20 tahun. Masih muda untuk ukuran tentara. Dia nggak terlatih buat megang senjata. Dia cuma tahu berjuang demi kemerdekaan anak dan cucu-cucunya, sesuatu yang mungkin nggak akan pernah bisa dia miliki. Dia lari ke tengah medan pertempuran, sekuat tenaga. Setelah beberapa lama, dia tergeletak bersimbah darah karena perutnya robek ditembus timah panas. Dia gugur. Dan nggak ada yang tahu siapa namanya, atau asalnya dari mana. Dia dimakamkan sebagai pahlawan tak bernama, bersama puluhan atau bahkan ratusan orang bernasib sama lainnya yang juga gugur sebagai pahlawan tanpa nama.
Gue nyesek, gue malu. Kenapa? Mereka dulu berjuang dengan darah, dan sama sekali nggak ragu buat ngorbanin nyawanya demi kemerdekaan bangsa ini. Demi kemerdekaan putra-putri Indonesia. Demi kemerdekaan gue, yang bahkan buat belajar aja malesnya minta ampun. Buat kemerdekaan mereka, yang ke kampus naik mobil tapi mengenang jasa pahlawan aja terakhir waktu SMA. Buat mereka, para tikus berdasi yang sudah disumpah di bawah kitab suci, tapi tega mengkhianati Ibu Pertiwi. Buat kita, yang untuk mengheningkan cipta selama satu menit dalam satu tahun saja, masih nggak bersedia.
Kita harus malu, kita harus malu, kita harus malu. Enam puluh delapan tahun merdeka, dan kita belum merdeka dari kebodohan. Belum merdeka dari feodalisme. Belum merdeka dari KKN. Belum merdeka dari pengkhianat bangsa. Kita harusnya malu.
Oleh karena itu, mari kita jadikan momentum Hari Pahlawan ini, sebagai waktu yang baik untuk mengenang jasa-jasa mereka, para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Kepada mereka yang tak ragu mempersembahkan nyawa mereka demi kebebasan dan kemerdekaan kita hari ini,
Marilah kita MENGHENINGKAN CIPTA SELAMA 60 DETIK, HARI INI (MINGGU 10 NOVEMBER 2013) PADA PUKUL 08.15 WIB.
"Kita adalah pahlawan untuk diri kita sendiri."
Pemerintah boleh bilang kalo musuh utama bangsa ini adalah korupsi, penyalahgunaan narkoba dan musuh-musuh lainnya. Tapi bukan itu yang paling utama.
Perang kita yang paling utama adalah perang melawan diri kita sendiri. Korupsi, penyalahgunaan narkoba, pencabulan, sodomi, bahkan molor skripsi sekalipun, semuanya adalah produk dari pilihan kita. Kita memilih, dan kita memutuskan untuk melakukan itu semua. Kita kalah berperang melawan diri kita sendiri.
Gue inget betul pendapat Viktor Frankl di buku "7 Habits of Highly Effective People" karangan Stephen R. Covey (Alm.), yang intinya bahwa kita berkuasa atas diri kita sendiri. Kita berkuasa atas pikiran kita. Kita punya imajinasi, kesadaran, hati nurani, kemawasan diri, dan semua yang kita butuhkan buat memilih yang benar. Semua manusia pada dasarnya baik, dan hati kita punya semua jawaban atas keputusan-keputusan yang akan kita ambil. Entah seseorang bertuhan atau tidak, hati nuraninya tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Masalahnya, kita dan banyak lagi masyarakat kita, yang memilih untuk mengkhianati hati nuraninya. Gue yakin semua orang yang korupsi, meneror, ngerampok, nodong, bahkan yang mencabuli nenek-nenek sekalipun, tahu kalo yang lagi dia lakuin itu hal yang nggak bener. Kecuali dia emang lagi kena gangguan jiwa.
Dan gue juga inget kutipan terkenalnya Covey: "I am not a product of my circumstances. I am a product of my decisions", yang artinya "Saya bukan hasil dari keadaan saya. Saya adalah hasil dari keputusan-keputusan saya". Hidup itu pilihan. Jadi jomblo itu juga pilihan. Pilihan mereka yang nggak milih lo! Hahaha. Jangan serius-serius lah, sob. Santai aja.
Bangsa dan negara kita butuh kita. Kita yang mampu memenangi perang melawan diri kita sendiri, melawan perang terhadap rayuan setan di lingkungan kita, dan perang melawan pihak-pihak yang merongrong bangsa dan negara kita yang tercinta ini. Kita harus mempertahankan kemerdekaan yang sudah diperjuangkan para pahlawan kita dengan darah dan nyawa. Jangan sampai Tuhan memberikan cobaan berupa perang fisik kepada generasi kita, hanya agar kita mengingat kembali pentingnya rasa syukur dan cinta negara.
Selamat Hari Pahlawan ya! Jangan lupa, kita adalah pahlawan untuk diri kita sendiri!