Belakangan ini, gue makin sering ngeliat masalah-masalah yang mencuat dari dunia kedokteran. Mulai dari dokter gadungan, isu kongkalikong dokter – detailer obat, sampe yang paling baru, penahanan terhadap dr. Ayu SpOG, dr. Hendi Siagian SpOG dan dr. Hendry Simanjuntak SpOG yang divonis bersalah atas tuduhan malpraktek (lebih tepatnya "malpraktek"), yang belakangan lebih dikenal sebagai isu “kriminalisasi profesi dokter”.
Kali ini, gue bakal ngebahas tentang yang terakhir tadi, dengan kacamata gue sebagai Ordinary Medical Student. Oke, gue boong. Gue nggak berkacamata. Ah sudahlah, monggo cekidot!
Waktu gue masuk FK, dosen-dosen gue selalu berkata bahwa dokter adalah profesi yang mulia. Semua orang pastinya menyepakati hal ini. Dokter adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia, untuk membantu dan mengupayakan kesembuhan bagi para pasien yang tengah diuji-Nya dengan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Dokter adalah satu-satunya profesi yang diberi ucapan terima kasih oleh keluarga para pasien ketika nyawa pasien tak mampu diselamatkan: ketika Tuhan berkehendak lain. Tapi belakangan ini, ada yang sedikit berbeda. Ada tiga orang dokter ahli kandungan yang dipenjarakan karena seorang pasien meninggal dunia setelah menjalani proses persalinan. Tiga orang dokter itu dinilai telah melakukan malpraktek.
Kalo mau tau kronologi kasusnya kayak apa, bisa diklik di sini. Kalo gue sendiri yang jelasin, gue yakin lo bakal makin pusing.
Sebagai calon dokter, gue merasa perlu buat menyimak perjalanan kasus ini. Tapi gue, dan seharusnya seluruh mahasiswa kedokteran Indonesia, belom pantes buat bersikap over-reaktif. Kita semua masih mahasiswa, belom jadi dokter. Solid mendukung bakal profesi kita boleh aja, tapi ada yang lebih penting yang harus kita lakukan: mengambil hikmah dan pelajaran dari persoalan ini.
Reaksi keras muncul di kalangan dokter Indonesia. Di beberapa wilayah Indonesia, ribuan dokter (termasuk dokter spesialis) turun ke jalan untuk memprotes ketidakadilan dan kriminalisasi profesi dokter, bahkan dokter ahli kandungan di Manado sepakat untuk mogok kerja. Pengurus IDI, baik pusat maupun daerah, turut membuat pernyataan sikap yang senada. Bahkan Bu Menkes pun turut pasang badan. Beliau meminta kepada Mahkamah Agung agar para dokter tersebut dibebaskan dari tahanan dan berubah status menjadi tahanan kota. Bu Menkes menjamin bahwa yang bersangkutan tidak akan melarikan diri. Hari ini, dokter Indonesia bersatu padu melawan ketidakadilan.
Sering banget dokter jadi lini terakhir pengobatan, ketika nyawa pasien udah di ujung tanduk. Dan ketika Tuhan berkehendak lain, manusia mempersalahkan perpanjangan tanganNya.
Ketika manusia tak puas mempersalahkan Tuhan, mereka mempersalahkan dokter.
Let’s say, seseorang meninggal dunia di tangan pengobat alternatif dan sejenisnya. Apa bakal ada tuntutan hukum? Gue yakin kecil kemungkinannya. Gue sendiri nggak pernah denger ada kasus kayak gitu. Keluarga pasien kemungkinan besar nganggep kalo itu adalah kehendak Yang Kuasa: mereka ikhlas.
Yang pasti, nggak ada dokter yang mampu menjamin pasiennya pasti sembuh dan pasti hidup di tangannya. Kalo ada yang bilang kayak gitu, dokter itu pantes masuk RSJ Menur. Kalo emang harus begitu (pasien harus sembuh di tangan dokter), gue yakin nggak akan ada lagi yang namanya dokter di dunia. Yang ada cuman dukun sama pengobat alternatif.
Dan nggak ada dokter di dunia ini yang pengen bikin celaka pasiennya. Nggak ada dokter yang tersenyum bahagia ngeliat pasiennya meninggal dunia di hadapan kedua matanya. Kita coba tinjau dari di kasus itu. Apa mungkin TIGA orang dokter ahli kandungan berkongkalikong di belakang pasien gawat darurat buat bikin dia celaka (apa kepentingannya)? Apa mungkin TIGA orang dokter ahli kandungan terus semuanya bisa salah prosedur berjamaah gitu? Kalo ternyata ada yang punya jawaban “mungkin”, gue tanya dulu: “antum sekolah dimane bisa punya logika kayak gitu?”.
Orang hukum nggak perlu menguasai ilmu kedokteran buat mempelajari kasus dugaan malpraktek. Cukup perlu menguasai logika sederhana: sudah sesuai prosedur ato belum. Kita lihat masalah utama kasusnya, karena keluarga pasien tidak diberi informed consent mengenai tindakan yang akan dilakukan. Seandainya pun diberikan informed consent, apakah keluarga pasien akan menolak tindakan karena somehow tahu kalo pasien akan meninggal dunia?
Seharusnya emang harus ada informed consent. Tapi di kondisi yang darurat dan butuh keputusan cepat, apa harus nunggu lebih lama lagi? Apakah seorang dokter harus mempertaruhkan nyawa pasien yang menunggu, hanya demi kesesuaian prosedur dan menghindari tuntutan hukum? Bukankah keluarga pasien juga berhak menuntut dokter apabila terbukti melakukan pembiaran? Disinilah dilema seorang dokter: antara prosedur dan nyawa pasien. Dua-duanya beresiko hukum, dan masa depan pasien nggak ada yang tau.
Tapi menurut gue, kalo emang bener bahwa dokter udah bekerja sesuai prosedur, peristiwa penahanan dokter karena “malpraktek” ini termasuk sebuah kebodohan besar.
Memenjarakan dokter yang bekerja sesuai prosedur namun Tuhan berkehendak lain atas nyawa pasiennya, sama halnya kayak nuntut seorang sopir bus yang busnya kecelakaan jatuh ke jurang karena tanah longsor, dan nganggep kalo tanah longsor itu salah si sopir bus. Sopir bus bukan Tuhan, pun demikian dengan dokter. Banyak hal yang berada di luar jangkauan manusia: misalnya jodoh, rezeki dan maut. Anak SD (yang beriman) pun pasti tahu hal ini.
Apa kata dunia internasional? Yang jelas aparat penegak hukum Indonesia bakal jadi sorotan. Dunia internasional bakal ngeliat Indonesia sebagai negara yang belom bisa memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap profesi dokter. Dan dokter, bakal semakin takut ngejalanin profesinya, terutama dalam mengang karena takut tuntutan hukum. Padahal tahun depan negara kita ini bakal masuk ke era SJSN. Kasihan rakyat Indonesia.
Gue belom masuk tataran orang bijak macam Konfusius, Mario Teguh, apalagi Habib Rizieq. Tapi gue coba menarik beberapa hikmah sederhana yang sekiranya bisa berguna buat kita pelajari untuk masa depan.
Semoga bisa diterima yee...
Pertama dan paling utama, belajar yang bener. Resiko kena tuntutan malpraktek jelas lebih menghantui dokter-dokter yang nggak kompeten. Gue ngomong gini bukan berarti gue udah belajar bener, coy. Sama sekali bukan. IPK gue aja nggak sampe 3,5 hahaha. Gue juga masih butuh banyak belajar dan cari banyak pengalaman. Buat elo mahasiswa kedokteran yang nggak suka ndokter di masa depan, gue saranin cari sumber penghasilan lain. Bisa belajar bisnis, politik, ato jadi selebriti hahaha.
Yang kedua, pelajari semua undang-undang dan produk hukum yang berkaitan sama profesi kedokteran, termasuk SKDI dan Kode Etik Dokter Indonesia. Itu semua bakal nuntun kita jadi dokter yang lege artis dan penting banget buat menjauhkan kita dari hantu meja hijau.
Terakhir, berdoa. Gue nggak perlu lagi lah ya ngasi tau pentingnya berdoa. Kalo lo orang beriman, lo pasti ngerti kenapa berdoa is a must.
Akhir kata, semoga martabat profesi kedokteran kembali baik di mata masyarakat, dan kita semua para calon dokter Indonesia jadi dokter yang pinter.
Dan semoga skripsi gue cepet kelar dan IPK gue bisa naik semester ini :3