- Kuliah pre-klinik: 4 tahun
- Koas: 2 tahun
- Internship: 1 tahun.
Itupun belom termasuk masa-masa nganggur di antara ketiga fase di atas: kayak nunggu wisuda, nunggu giliran masuk RS (jadi koas), nunggu UKDI, nunggu penempatan internship, dan nunggu proses pembuatan Surat Tanda Registrasi (STR) sama Surat Izin Prakter (SIP) buat bisa jadi dokter yang boleh praktek. Itupun dengan asumsi lo langsung lulus UKDI (ada yang UKDI-nya bahkan sampe ngulang 19 kali). Semoga kita sekali ujian langsung gol (amin).
Intinya, jadi dokter itu butuh lama.
Dan di negara kepulauan terbesar di dunia ini, menikah masih jadi kebutuhan penting. Cinta masih jadi kebutuhan primer, bahkan sampe hari kiamat. Terus apa hubungannya sama perjalanan hidup mahasiswi kedokteran? Dan kenapa harus mahasiswi? Klik Read more!
Gue nggak tau datanya di tempat lain, tapi di PSPD (Program Studi Pendidikan Dokter) FK UB, kaum hawa mendominasi tempat mulia itu. Persis kayak adegan T-Rex betina di akhir film Jurassic Park yang ngibarin spanduk tulisannya: "When Dinosaurs Ruled The World". Oke, jangan marah, gue cuman bercanda.
Gue yakin di seluruh kampus FK di Indonesia juga kurang lebih dalam kondisi yang sama: didominasi perempuan. Wajar, karena secara nasional rasio jumlah perempuan emang lebih gede dari laki-laki. Ditambah lagi, gue liat di jaman informasi dan teknologi ini, laki-laki lebih bergairah buat ngambil teknik informatika dan teknik-teknik yang lain. Kecuali teknik perdukunan dan percintaan.
Oke, kita asumsikan rata-rata mahasiswa FK mulai masuk kampus umur 18-19 tahun (gue sendiri masuk umur 17 tahun, masih unyu nan baby face hahaha). Dengan asumsi itu, berarti rata-rata para mahasiswa bakal lulus dokter pada usia 25-26 tahun. Rentang usia yang buat sebagian mahasiswi (yang gue survey) cukup "tua" buat menikah. Mulai panas mbak bro?
LAKI-LAKI MAKIN SEDIKIT, SIS!
Perempuan itu beda sama laki-laki (ya iya lah -_-). Maksud gue gini. Laki-laki nggak terpengaruh sama usia pernikahan. Berapapun usia laki-laki untuk menikah, it seems fine-fine aja. Meskipun secara nasional usia rata-rata pernikahan makin rendah, jaman sekarang muncul pandangan (khususnya di masyarakat urban) kalo laki-laki itu idealnya married umur 30 tahun ke atas. Atau yang penting mapan (baca: kaya dan settle).
Nggak demikian buat perempuan. Perempuan masih mikirin banget usia pernikahan, terutama yang emang pengen jadi ibu yang baik. Apalagi perempuan punya batas usia ideal untuk hamil: 35 tahun. Ditambah lagi masih kentalnya sebutan "perawan tua" bagi para perempuan yang nggak segera menikah, terutama yang menginjak usia 30 tahun ke atas. Singkatnya, perempuan dikejar "deadline", kurang lebih begitu.
"Satu sel telur diperebutin jutaan sperma". Di dalem rahim, itu emang 1000% bener. Tapi di kehidupan di luar rahim, fakta itu berubah. Hari ini, jumlah perempuan jauh lebih banyak dibanding laki-laki, khususnya di FK. Sehingga, resiko "sulit jodoh" secara monogami-dengan-rekan-sejawat ikut meningkat.
Terus jumlah cewek yang makin banyak ini harus gimana?
Masalah jodoh emang gak ada yang tau. Jodoh lo bisa jadi perjaka, duda, atau bahkan lelaki poligami. Gue nggak tau, lo juga nggak tau. Cuman Tuhan yang tahu. Yang gue dan lo sama-sama tau, jodoh itu harus diperjuangkan! Setuju? Harus. Sekarang bukan jamannya lagi menanti pangeran ber-Yaris putih ke rumah bawa seperangkat alat sholat, dan numpang sholat di rumah lo. Hahaha. Tapi lo ngerti maksud gue kan?
Simpelnya gini: di acara Take Me Out Indonesia, satu cowok direbutin 30 cewek. Jadi, siapa yang ngerebutin siapa? Makin panas mbak bro? Hahaha.
"MENIKAH WAKTU KOAS, WHY NOT"? YAKIN LO?
Gue tau ada banyak juga mahasiswi kedokteran yang married waktu masih koas, dan sebagian diantaranya hamil bahkan punya baby waktu masih koas. Di satu sisi, gue salut banget. Mereka menyegerakan perintah agama dan menghindari fitnah dan zina di masa muda. Tapi di sisi lain, gue masih dalam posisi antara penasaran dan kasian sama mereka. Kenapa?
Misalnya kakusnya gini. Sori, maksud gue kasus. Kalo para mahasiswi bersuami ini (dan mungkin sudah ber-anak) lagi sibuk dimarah-marahin PPDS di rumah sakit selama dua tahun, apalagi internship dan dapet tempat di luar pulau, siapa yang bakal ngurus suami mereka?
Dan siapa pula yang ngurus anak mereka? Suaminya kah? Ortu ato mertuanya kah? Ato siapa? Ini hal yang masih jauh dari pemikiran gue. Firasat gue yang paling kuat, mereka minta bantuan babysitter ato orangtua mereka buat ngasuh anak mereka, dengan ASI yang udah dipompa sebelum berangkat ke RS. Kalo ikut program ASI eksklusif.
Jujur, gue nggak terlalu ngerti kehidupan pribadi para mahasiswi yang demikian. Tapi jujur pula, logika gue nggak nyampe. Gue masih kontra banget sama yang kayak gitu. Kenapa? Read this.
HOW I SEE THIS PHENOMENON
Gue mahasiswa FK yang berpikiran tradisional. Gue pengen punya istri yang setia nunggu gue pulang kerja di rumah, nyiapin gue makan malem, dan siap dengerin segala keluh kesah gue. Gue pengen punya anak yang 100% gue urus bareng-bareng sama istri gue. Honestly, gue agak menghindari punya istri sesama jenis (baca: dokter). Gue takut dia bakal sibuk dengan dunia dan karirnya sendiri, meskipun gue sadar itu ketakutan yang kurang beralasan. Apalagi jaman sekarang rata-rata mahasiswi kedokteran pengen jadi spesialis, dan mayoritas lab gede. Kalo nggak kandungan ya anak. Lama banget bro!
Ayah gue seorang dokter umum. Ibu gue seorang ibu rumah tangga. Dan kasih sayang dan perhatian mereka gede banget buat gue. Waktu yang dicurahkan juga cukup gede, baik secara kuantitas dan kualitas. Gue menyadari itu sepenuhnya. Tapi dengan keadaan sebaik itu pun, gue kadang ngerasa butuh lebih banyak perhatian dan kasih sayang mereka. Bukannya munafik, di usia yang terus-menerus mikirin duit ini, gue masih haus kasih sayang orang tua. Emang bener uang itu satu wujud kasih sayang, tapi uang nggak bisa ngegantiin semua kasih sayang orangtua kita. I'm born to be a family man, and I really wanna be one. Silakan liat di halaman "Favorite Quote" di blog bermanfaat ini :3
Gue nggak mendikotomikan kalo dokter perempuan, apalagi spesialis yang supersibuk, pasti nelantarin suami dan anak mereka. Sama sekali nggak. Gue cuman mencoba buat berpikir pake logika sederhana. Prinsip fisika: dua materi tidak bisa berada di satu tempat dalam waktu yang bersamaan. Kita nggak mungkin bisa ngebagi perhatian kita 100% buat keluarga dan 100% buat karir. Perhatian kita cuman 100%, dan nggak mungkin lebih. Terkadang, gue ngerasa kalo argumentasi quality time itu cuman pembelaan diri para orang tua karir (terutama ibu) yang kurang bisa ngasih waktu buat anak-anak mereka. Sampai kapanpun, kuantitas itu penting. Anak-anak kita perlu lebih sering ketemu sama kita. Lebih sering ngeliat muka kita. Jangan biarkan anak-anak kita jadi anak-anak broken home. Duit melimpah tapi minim kasih sayang, apa artinya?
PENUTUP
Di jaman informasi nan supersibuk dan serbakarir ini, gue berharap bangsa kita punya ibu-ibu yang mampu mencurahkan kasih sayangnya secara total buat keluarga mereka. Anak-anak butuh bimbingan lebih, dan suami butuh layanan (jasmani dan rohani). Really, gue baca di koran hari ini kalo 99% pernikahan dini karena free sex, dan tiap hari makin banyak berita perselingkuhan karena istri jarang di rumah.
Secara pribadi, gue berharap dunia kedokteran kembali ke tangan laki-laki. Jadi dokter itu kemungkinan besar sibuk, dan tantangannya juga berat, resikonya juga gede. Bukannya gue nggak mendukung kesetaraan gender, tapi gue beneran pengen liat Indonesia kokoh di tataran keluarga. Zaman boleh berubah, tapi kodratmu adalah sebagai ibu dan istri. Itu yang paling penting. Itu.
SARAN!
Saran gue kongkrit aja deh. Kalo lo emang mahasiswi yang punya niat tulus jadi dokter, jangan married sebelum ada gelar "dr." di depan nama lo. Dan setelah dapet gelar terhormat itu, segeralah menikah! Nggak usah dulu sok-sok-an kejar karir dan gelar spesialis dulu. Inget, laki-laki semakin langka.
Masalah rezeki, nggak usah kuatir. Semua udah ada yang ngatur, sis. Kalo bukan melalui lo, udah pasti melalui suami lo. Rezeki datang dari jalan yang tidak kita duga-duga. Dan anak, adalah anugerah yang paling besar. Lo pasti setuju sama gue dalam hal ini.
Dear ladies, prioritaskan kehidupan pribadimu di atas gelar "dr." mu. Tujuan hidup itu untuk bahagia, dan kalo lo mau bahagia, berbahagialah secepatnya. Jangan ditunda-tunda!