Belakangan ini, facebook dan twitter gue penuh sama tulisan-tulisan solidaritas terhadap penahanan dr. Ayu dkk. Ada yang ngeshare berita, bikin puisi, bahkan nulis status yang agak "panas". Ada juga yang nge-share fotonya waktu aksi turun ke jalan. Gue liat ada yang (setelah gue amati dari foto dan tulisannya) keliatan ngerasa gagah dan berjasa banget abis turun aksi bareng dokter.
Yang agak gue sayangkan adalah, semua tulisan yang gue liat itu adalah tulisan-tulisan bernada pembelaan, tulisan-tulisan defensif. Nggak ada satu pun gue liat tulisan introspeksi ato menarik hikmah dari kasus ini. Semuanya juga jadi serba hipersensitif. Ada pasien protes, dihujat-hujat di social media. Beberapa media massa berbeda pendapat soal kriminalisasi dokter ini, dianggap nggak netral, bahkan dinilai punya motif dan konspirasi terselubung. Somehow belakangan gue liat semuanya jadi keliatan salah di mata anak FK. Anak-anak FK juga keliatan gampang banget tersulut amarah soal ini. Seolah-olah kita semua udah bener, dan nanti bakal jadi dokter serba bener yang nggak mungkin ngalamin kejadian yang sama.
Gembel-gembel gini, gue adalah mantan menteri Kajian dan Strategi (Kastrat) BEM FKUB, bidang yang kerjaannya mengkaji isu-isu strategis khususnya di bidang kesehatan. Kalo misalnya hari ini gue masih menjabat, kasus dr. Ayu ini nggak mungkin luput dari daftar kerjaan gue. Tapi entah kenapa hari ini gue nggak bisa bersikap se-reaktif dulu. Gue justru lebih milih buat ngeliat kasus ini dari sudut pandang yang berbeda.
Ketika banyak mahasiswa FK yang ribut di socmed dan turun ke jalan, gue justru milih buat nggak ikut-ikutan "hanyut" dalam isu kriminalisasi dokter ini. Gue cenderung diem sambil mengamati. Gue juga nggak ikut-ikutan pake sesuatu yang berbau item. Gue bukannya nggak bangga sama bakal profesi gue, sama sekali bukan. Gue masih bersyukur banget bisa punya kesempatan jadi dokter, dan gue turut berempati atas kasus ini. Gue cuman nggak suka sama yang namanya fanatisme berlebihan. Ya, itulah sedikit penilaian gue tentang sebagian anak FK hari ini. Apa anak FK di Indonesia hari ini banyak yang fanatik berlebihan? Entahlah.
Oke, kita flashback dulu ke tiga hari yang lalu, dimana di Graha Medika FKUB Lt. 2 sedang berlangsung kuliah tentang Good Medical Practice oleh Prof. Dr. dr. A. Rudjianto, SpPD-KEMD. Kuliah ini termasuk kuliah yang berkesan banget buat gue. Kenapa? Karena dari kuliah itu ada dua hal penting yang sukses gue bawa pulang:
- Primum non nocere. Keselamatan pasien itu nomor satu;
- Hal yang harus disadari dokter: apa yang dia tahu, dan apa yang dia tidak tahu.
Kasus dr. Ayu ini menyadarkan satu hal buat gue: GUE HARUS TAU APA YANG GUE BELOM BISA. Setelah gue mikir beberapa saat dan buka Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), gue akhirnya sadar kalo gue masih jauh dari kriteria dokter ideal. Gue bahkan belom bisa nguasain 20% dari SKDI, padahal tahun depan gue udah masuk rumah sakit. Yes. Hari ini, gue adalah calon koas patologis. Dan thanks to dr. Ayu, akhirnya gue menyadari itu. That's why gue lebih milih buka buku-buku lama ketimbang marah-marah di social media. Itulah wujud solidaritas gue buat dunia kedokteran Indonesia.
Satu hal yang hari ini bener-bener bikin gue ngeri: Gimana kalo misalnya suatu hari nanti ternyata gue yang dituntut pasien karena nggak kompeten, dan gue ternyata sama sekali nggak layak buat dibela? Na'udzubillah, summa na'udzubillah.
Banyak diantara kita yang meramalkan nantinya bakal banyak dokter yang dalam memberikan terapi cenderung defensif alias main aman. Tapi gimana kita bisa milih terapi yang defensif ato lainnya, kalo kita bahkan nggak tau gimana caranya nanganin penyakit alias kita nggak punya ilmu? You feel me?
Biarlah para dokter yang bersuara lantang meneriakkan dukungan solidaritas. Kita mahasiswa kedokteran jangan sampai terbawa arus terlalu lama. Kita harus berusaha keras mengambil hikmahnya. Kita seharusnya lebih bijak dalam bersikap. Ketimbang berbagi amarah di social media, bukankah lebih baik kita memetik hikmah, belajar lebih keras, dan berdoa agar nasib dokter Indonesia lebih baik di masa depan, khususnya di masa kita nantinya. Jangan sampai publik menilai bahwa mahasiswa FK hari ini adalah calon-calon dokter lebay yang gampang tersulut amarah. Jangan jadi drama queen.
Inget, suatu hari nanti kitalah yang akan jadi dokter Indonesia. Dan kasus dr. Ayu ini adalah tanda dari Tuhan bahwa kita harus berusaha lebih keras untuk menjadi dokter yang jauh lebih baik lagi dibanding dokter-dokter hari ini. Kita nggak seharusnya berlama-lama tenggelam dalam lautan duka, rek. Justru seharusnya kita membangkitkan optimisme kepada kepada masyarakat. “Di jaman gue nanti, nggak akan ada lagi kejadian kayak gini. Karena kita akan jadi dokter yang luar biasa!”. Kalo lulus, hahaha...
At last, semoga kita nggak liat kasus ini daru satu sisi melulu. Versi dokter, kita pasti udah tau. Tapi versi MA, lain lagi. Kemaren lusa gue baca koran, yang disitu ditulis kalo Surat Izin Praktek dr. Ayu ternyata palsu, dan tanda tangan dr. Ayu di surat persetujuan tindakan juga tanda tangan palsu (spurious signature). Nah lho! Ada yang udah baca?
Hidup Dokter Indonesia!