"Sanoebari ra'jat kita penoeh tjita'tjita persamaan: kalaoe orang desa hendak memboeat roemah atau mengerdjakan sawah ataoepoen ditimpa musibah kematian, maka ia ta' perloe menggadji koeli ataoe lain-lainnja oentoek menolong dia, melainkan ia ditolong oleh kaoemnya sedesa. Pendeknya dasar pergaoelan kita adalah tolong-menolong"
(Mohammad Hatta)
0 Comments
Waktu gue jadi maba FKUB, gue gak terlalu mikirin masalah duit. Secara, masih ada orangtua yang siap meng-cover segala keperluan gue. Dan in the end, gue bakal jadi dokter, sebuah profesi yang lekat dengan keamanan finansial apalagi kalo kita jadi spesialis. "Money is not a problem", pikir gue waktu itu. Dulu, duit kiriman buat gue udah lebih dari cukup. Gue masih bisa beli buku, wisata kuliner, bahkan pacaran. Dan itupun masih ada sisanya. Tapi setelah kenaikan harga BBM, yang berimbas pada kenaikan harga BBM dan harga lalapan, ditambah lagi dengan serangan Negara Api yang belum diuji di ITB dan IPB, gue makin sering muter otak buat berusaha gimana caranya duit kiriman bulanan gue itu kagak abis sebelum kiriman berikutnya. Dan gue juga berusaha cari-cari duit tambahan sendiri pake otak dan tangan gue doang. Alhamdulillah bisa buat tambahan bayar utang 5 buku perpus yang 3 tahun belom balik -___- Tahun 2013 ini, sejak bangun tidur sampe bangun bangun tidur lagi, kepala gue selalu terngiang-ngiang sama yang namanya DUIT. Umur gue udah hampir 21, dan gue masih belom bisa menghasilkan rupiah? Gue malu men. Gue bahkan nggak bisa lagi mikir kalo "jadi dokter = kehidupan finansial yang aman". Dunia kesehatan Indonesia hari ini terombang-ambing di tengah lautan ketidakpastian. Makin tambah usia, gue makin realistis. Dokter emang profesi pengabdian, tapi dokter juga manusia yang butuh duit buat kelangsungan hidupnya. Dan penting juga, buat gue dokter yang baik adalah dokter yang bisa menggratiskan biaya pengobatan bagi mereka yang membutuhkan tapi kurang beruntung. Kalo gue nggak punya duit, gimana gue bisa melakukan itu? Pake cinta dan rasa pengabdian? Jelas kagak bisa. "I need to make a BIG BIG BIG amount of money". Gue pengen jadi dokter yang kaya raya! Tapi gue nggak mau mengeluhkan kondisi gue saat ini. Gue masih bersyukur banget masih gue masih punya orangtua yang sayang sama gue, dan masih mau ngirimin rupiah buat anaknya yang masih mengecewakan ini. Duit kiriman hasil "ngemis" gue masih lebih dari cukup, kalo gue pinter berstrategi ekonomi. Di luar sana, gue tau masih banyak mahasiswa yang jauh lebih kurang beruntung dibandingin gue, dan gue salut sama mereka semua. Yes, gue masih berstatus pengemis. Lebih tepatnya "pengemis ber-KTM". Dan yang namanya pengemis itu nggak pernah minta duit ekstra. Semoga Tuhan membukakan jalan buat kita semua untuk segera mulai hidup mandiri secara finansial, bahkan sebelum kita semua lulus dari pendidikan formal. Semoga kita segera mentas dari status "Pengemis ber-KTM". Amin :) Karena begitu banyak status dan tweet mengenai kasus dr. Ayu, kali ini gue nulis serius lagi. Man, I'm feeling bad for being too serious. But that's OK, gak papa kan ya? (blog juga blog gue hhaha). Gue pengen berbagi pemikiran yang mungkin agak beda dari kebanyakan anak FK mengenai kasus kriminalisasi dokter. Belakangan ini, facebook dan twitter gue penuh sama tulisan-tulisan solidaritas terhadap penahanan dr. Ayu dkk. Ada yang ngeshare berita, bikin puisi, bahkan nulis status yang agak "panas". Ada juga yang nge-share fotonya waktu aksi turun ke jalan. Gue liat ada yang (setelah gue amati dari foto dan tulisannya) keliatan ngerasa gagah dan berjasa banget abis turun aksi bareng dokter. Yang agak gue sayangkan adalah, semua tulisan yang gue liat itu adalah tulisan-tulisan bernada pembelaan, tulisan-tulisan defensif. Nggak ada satu pun gue liat tulisan introspeksi ato menarik hikmah dari kasus ini. Semuanya juga jadi serba hipersensitif. Ada pasien protes, dihujat-hujat di social media. Beberapa media massa berbeda pendapat soal kriminalisasi dokter ini, dianggap nggak netral, bahkan dinilai punya motif dan konspirasi terselubung. Somehow belakangan gue liat semuanya jadi keliatan salah di mata anak FK. Anak-anak FK juga keliatan gampang banget tersulut amarah soal ini. Seolah-olah kita semua udah bener, dan nanti bakal jadi dokter serba bener yang nggak mungkin ngalamin kejadian yang sama. Gembel-gembel gini, gue adalah mantan menteri Kajian dan Strategi (Kastrat) BEM FKUB, bidang yang kerjaannya mengkaji isu-isu strategis khususnya di bidang kesehatan. Kalo misalnya hari ini gue masih menjabat, kasus dr. Ayu ini nggak mungkin luput dari daftar kerjaan gue. Tapi entah kenapa hari ini gue nggak bisa bersikap se-reaktif dulu. Gue justru lebih milih buat ngeliat kasus ini dari sudut pandang yang berbeda. Ketika banyak mahasiswa FK yang ribut di socmed dan turun ke jalan, gue justru milih buat nggak ikut-ikutan "hanyut" dalam isu kriminalisasi dokter ini. Gue cenderung diem sambil mengamati. Gue juga nggak ikut-ikutan pake sesuatu yang berbau item. Gue bukannya nggak bangga sama bakal profesi gue, sama sekali bukan. Gue masih bersyukur banget bisa punya kesempatan jadi dokter, dan gue turut berempati atas kasus ini. Gue cuman nggak suka sama yang namanya fanatisme berlebihan. Ya, itulah sedikit penilaian gue tentang sebagian anak FK hari ini. Apa anak FK di Indonesia hari ini banyak yang fanatik berlebihan? Entahlah. Oke, kita flashback dulu ke tiga hari yang lalu, dimana di Graha Medika FKUB Lt. 2 sedang berlangsung kuliah tentang Good Medical Practice oleh Prof. Dr. dr. A. Rudjianto, SpPD-KEMD. Kuliah ini termasuk kuliah yang berkesan banget buat gue. Kenapa? Karena dari kuliah itu ada dua hal penting yang sukses gue bawa pulang:
Kasus dr. Ayu ini menyadarkan satu hal buat gue: GUE HARUS TAU APA YANG GUE BELOM BISA. Setelah gue mikir beberapa saat dan buka Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), gue akhirnya sadar kalo gue masih jauh dari kriteria dokter ideal. Gue bahkan belom bisa nguasain 20% dari SKDI, padahal tahun depan gue udah masuk rumah sakit. Yes. Hari ini, gue adalah calon koas patologis. Dan thanks to dr. Ayu, akhirnya gue menyadari itu. That's why gue lebih milih buka buku-buku lama ketimbang marah-marah di social media. Itulah wujud solidaritas gue buat dunia kedokteran Indonesia. Satu hal yang hari ini bener-bener bikin gue ngeri: Gimana kalo misalnya suatu hari nanti ternyata gue yang dituntut pasien karena nggak kompeten, dan gue ternyata sama sekali nggak layak buat dibela? Na'udzubillah, summa na'udzubillah. Banyak diantara kita yang meramalkan nantinya bakal banyak dokter yang dalam memberikan terapi cenderung defensif alias main aman. Tapi gimana kita bisa milih terapi yang defensif ato lainnya, kalo kita bahkan nggak tau gimana caranya nanganin penyakit alias kita nggak punya ilmu? You feel me? Biarlah para dokter yang bersuara lantang meneriakkan dukungan solidaritas. Kita mahasiswa kedokteran jangan sampai terbawa arus terlalu lama. Kita harus berusaha keras mengambil hikmahnya. Kita seharusnya lebih bijak dalam bersikap. Ketimbang berbagi amarah di social media, bukankah lebih baik kita memetik hikmah, belajar lebih keras, dan berdoa agar nasib dokter Indonesia lebih baik di masa depan, khususnya di masa kita nantinya. Jangan sampai publik menilai bahwa mahasiswa FK hari ini adalah calon-calon dokter lebay yang gampang tersulut amarah. Jangan jadi drama queen. Inget, suatu hari nanti kitalah yang akan jadi dokter Indonesia. Dan kasus dr. Ayu ini adalah tanda dari Tuhan bahwa kita harus berusaha lebih keras untuk menjadi dokter yang jauh lebih baik lagi dibanding dokter-dokter hari ini. Kita nggak seharusnya berlama-lama tenggelam dalam lautan duka, rek. Justru seharusnya kita membangkitkan optimisme kepada kepada masyarakat. “Di jaman gue nanti, nggak akan ada lagi kejadian kayak gini. Karena kita akan jadi dokter yang luar biasa!”. Kalo lulus, hahaha... At last, semoga kita nggak liat kasus ini daru satu sisi melulu. Versi dokter, kita pasti udah tau. Tapi versi MA, lain lagi. Kemaren lusa gue baca koran, yang disitu ditulis kalo Surat Izin Praktek dr. Ayu ternyata palsu, dan tanda tangan dr. Ayu di surat persetujuan tindakan juga tanda tangan palsu (spurious signature). Nah lho! Ada yang udah baca? Hidup Dokter Indonesia! "What is True Love?" Buat sebagian orang tampang, tampilan fisik dan status ekonomi itu menggairahkan. Ada juga yang nganggep kalo keimanan dan religiusitas itu bikin horny. Di fase mahasiswa tingkat akhir ini, gue sering banget denger (terutama dari para kaum hawa) ungkapan-ungkapan yang kurang lebih bunyinya kayak gini:
Ungkapan-ungkapan yang beautiful banget, dan sebenernya mengandung kebenaran juga. But somehow, di masa dimana umat Islam udah bermilyar-milyar populasinya ini, gue masih ngerasa kalo itu adalah konsep yang terlalu idealis. Gue nggak begitu paham sama konsep yang satu ini. Sejauh ini gue beranggapan kalo cuma orang-orang yang religius banget yang bisa paham dan mampu menerapkan konsep ini. Apa keimanan adalah segalanya? Check this out. Pertama, saya mengucapkan turut berbela sungkawa atas wafatnya Ibu Julia Fransiska Makatey yang meninggal dunia setelah melewati proses persalinan pada 10 April 2010 di RS dr. Kandau Manado. Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya. Belakangan ini, gue makin sering ngeliat masalah-masalah yang mencuat dari dunia kedokteran. Mulai dari dokter gadungan, isu kongkalikong dokter – detailer obat, sampe yang paling baru, penahanan terhadap dr. Ayu SpOG, dr. Hendi Siagian SpOG dan dr. Hendry Simanjuntak SpOG yang divonis bersalah atas tuduhan malpraktek (lebih tepatnya "malpraktek"), yang belakangan lebih dikenal sebagai isu “kriminalisasi profesi dokter”. Kali ini, gue bakal ngebahas tentang yang terakhir tadi, dengan kacamata gue sebagai Ordinary Medical Student. Oke, gue boong. Gue nggak berkacamata. Ah sudahlah, monggo cekidot! Sepuluh November, Hari Pahlawan Indonesia. Sebelum gue dicap antek asing, utusan zionis, anggota freemason, Illuminati, atau bahkan anggota FPI, gue perlu ngejelasin dulu kalo tulisan ini bukan untuk meng-kultus-kan hari pahlawan yang nggak ada di kitab suci manapun. Gue cuman pengen berbagi refleksi aja. Start!
Apa kabar kolega calon dokter di malam minggu ini? Masih kelabu aje tong? Becanda... Kali ini gue bakal ngebahas kajiannya ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang judulnya "Program Pendidikan Layanan Primer dan Implikasinya pada Dinamika Pendidikan Kedokteran di Indonesia" oleh kolega Vicha Annisa, dkk. dari Manado. Dengan pandangan gue sebagai Ordinary Medical Student pastinya, semoga lo nggak berharap lebih. Sumpah, gue bukan pengurus Kastrat ISMKI, apalagi caleg Komisi IX DPR-RI. Gue cuman anak FK biasa. Kalo lo pengen cari pembahasan yang bahasanya tinggi nan serius dan gak suka yang sambil bercanda, feel free buat cari blog lain, ato tulis sendiri aja opini lo. Gue pengen bikin tulisan opini dengan bahasa yang se-merakyat-mungkin dengan anak-anak FK yang masih banyak digalauin sama ujian, skripsi, dan status coma jomblonicus. Dan skripsi. Pertama nan paling utama, baca dulu kajiannya di bawah ini (kalo kekecilan bisa di-full-screen, tombolnya ada di pojok kanan bawah). Enjoy! C:)> POIN-POIN PENTING DARI KAJIAN ISMKI TERSEBUT
Next, masuk ke opini gue. I'm humbly demanding you to please, CMIIW (Correct me if I'm wrong). Gue bakal dengan senang hati mengoreksi tulisan ini, dan terus nge-post revisinya yang lebih bener. Gue seneng banget kalo ada yang mau ngoreksi kesesatan-kesesatan bertanggung jawab gue.
Delapan puluh lima tahun berlalu sejak terjadinya peristiwa bersejarah yang begitu berarti bagi bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda: sebuah momentum kebangkitan, pengukuhan eksistensi, dan perjanjian bersama para pemuda dari seluruh penjuru nusantara untuk menyuarakan sumpah persatuan untuk selama-lamanya dalam sebuah bingkai bernama "Indonesia". Hingga hari ini, Sumpah Pemuda masih diingat dan dihayati semangatnya oleh segenap anak bangsa. Mulai dari upacara peringatan di berbagai lembaga, instansi, sekolah-sekolah, hingga sekedar menabur hashtag di media-media sosial. Sumpah Pemuda bukanlah sekumpulan aturan dalam hidup berbangsa dan bernegara, melainkan sebuah komitmen sepanjang hayat yang mengikat seluruh anak bangsa. Sebuah semangat yang mengalir dalam darah setiap putra-putri bangsa yang mengaku sebagai seorang Indonesia. Ia senada, namun berbeda dengan Pancasila dan UUD 1945. Ia sederhana, namun begitu dalam maknanya. Tanpa perlu mengagungkan secara berlebihan dan seolah beusaha tenggelam dalam glorifikasi masa lalu pun, kita semua pasti sepakat bahwa Sumpah Pemuda adalah saripati entitas bangsa dan negara Republik Indonesia. Karena Tanah Air, bangsa dan Bahasa Indonesia adalah apa yang mempersatukan kita semua, putra-putri Indonesia. Terlepas apakah dasar negara kita Pancasila atau Piagam Jakarta, dan apakah konstitusi kita adalah UUD RIS atau UUD 1945, Tanah Air, bangsa, dan bahasa persatuan kita tetap sama. Sumpah Pemuda menjadikan kita semua Indonesia. SUMPAH PEMUDA VERSI BARU Saya yakin, disamping contoh di atas masih ada banyak lagi pembaharuan-pembaharuan Sumpah Pemuda yang lahir dari inisiatif dan rasa cinta negara sebagai seorang Indonesia. Namun yang menjadi pendapat saya dalam hal ini adalah, bahwa Sumpah Pemuda adalah pernyataan yang paling prinsipil dan sederhana. Jika sejarah kita berubah dan dasar negara kita bukan bernama Pancasila pun, sumpah itu tetap mempersatukan generasi pendahulu kita, yang darahnya tetap mengalir di pembuluh darah kita hingga detik ini. Biarkan yang tua dan tak mau berubah mengikuti perkembangan zaman untuk melemah dan tergantikan. Inilah saatnya kita bergerak menyongsong masa depan yang cerah. Pada peringatan Satu Abad Sumpah Pemuda di tahun 2028 nanti, kitalah pemuda-pemuda yang menggerakkan bangsa dan negara Republik Indonesia. Harga kebutuhan pokok ada di tangan kita, pun demikian dengan mutu pendidikan, status ekonomi dan berbagai aspek kehidupan di negara ini nantinya. Wahai pemuda, terimalah takdir kita: INDONESIA ADALAH MILIK KITA! Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekedar menggambarkan suatu Geographical entity. |
Tentang Penulisdr. Mada Maulana Arsip!
October 2017
Kategori!
All
|